Kamis, 21 Agustus 2014

INDONESIA PASCA VOC: Masuknya Pengaruh Perancis, Inggris dan Kekuasaan Belanda Kedua



INDONESIA PASCA VOC:
Masuknya Pengaruh Perancis, Inggris dan Kekuasaan Belanda Kedua

. Kekuasaan Belanda tahun 1799 diambil alih oleh pemerintah Belanda dari VOC. VOC mengalami kerugian yang besar yang menyebabkan kebangkrutan dan dibubarkan. Sebelumnya penjajahan Belanda atas Indonesia dilakukan oleh VOC, sejak tahun 1799 secara resmi dilakukan oleh pemerintahan Belanda.
Sementara itu Inggris mengincar Nusantara dari Belanda. Jawa merupakan daerah Koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris sebelun Isle de France dan Mauritus jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1807. Pada tahun 1808 armada Inggris sudah muncul di Utara Pantai Batavia. Pada Tahun 1800 galangan kapal di Pulau seribu yaitu di pulau Onrust sudah dihancurkan oleh Inggris. Belanda yang pada saat itu mendapat pengaruh dari Perancis sadar kalau tidak mungkin akan mengirimkan pasukan ke batavia karena ada blokade laut dari Inggris.
Atas saran dari Napoleon, Pemerintah Belanda pada tahun 1806 mengangkat Herman Willem Deandels (1762-1818) untuk mengemban tugas berat mempertahankan Pulau Jawa dalam serangan Inggris. Dengan demikian, dalam kurun waktu 1806-1811 Nusantara mendapat pengaruh dari Perancis meskipun para pejabat masih didominasi oleh orang-orang belanda.
1.    Heramn Willem Deandels (Januari 1808-Mei 1811) Gubernur Jenderal “Prancis”yang keras dan Otoriter.
Deandels memegang dua tugas utama yaitu
a.    Mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangaan Inggris.
b.    Memperbaiki keadaan tanah jajahan ddari penyelewengan dan korupsi.
Sejak awal, ia menyadari bahwa mustahil mengahdapi kekuatan Inggris.oleh karena itu ia menerapkan kebijakan dalam hal pertahanan yang isinya:
·      Membangun Jalan raya Pos atau de Grote Postweg dari anyer sampai Panatukan dengan tujuan agar tentara Belanda dengan cepat untuk bergerak. Dalam proses pembangunan, ia menrapkan sistem kerja wajib (verplichte diensten) serta hpenerapan penyerahan hasil bumi wajib (verplichte leverantie).
·      Mendirikan benteng pertahanan, seperti Benteng Lodewijk (louis) di Surabaya, benteng Meester Cornelis di Batavia.
·      Membangun pangkalan armada laut di Merak dan Ujung Kulon.
·      Membangun angkatan perang yang terdiri dari orang pribumi seperti Legiun Mangkunegaran.
·      Mendirikan pabrik senjata di Surabaya, Meriam di Semarang dan sekolah militer di Batavia.
·      Membangun rumah sakit dan tangsi-tangsi militer yang baru.
Selain di bidang pertahan Deandels juga menerapkan sejumlah kebijakan lain seperti:
·      Membagi Pulau Jawa menjadi 9 Prefektur (daerah) setara Karasidenan.
·      Mengangkat para bupati di seluruh Jawa menjadi pegawai pemerintah.
·      Menaikkan gaji pegai pemerintahan.
·      Mendirikan badan pengadilan dan disesuaikan adat dan istiadat yang berlaku.
Daendels dikenal sebagai penguasa yang otoriter. Kebijakan menjual tanah kepada pengusaha asing untuk mencari dana dalam mempertahankan pulau jawa dianggap melanggar undang-undang. Selain itu kebijakan keras terhadap para raja di jawa seperti :
ü Terahadap Solo dan Yogyakarta dimana para raja harus mengakui raja Belanda sebagai junjungannya serta mengubah jabatan pejabat Belanda di Keraton dari residen menjadi minister.
ü Terhadap Banten, ia menghancurkan kerajaan Banten dan mengasingkan ke Ambon karena menolak pembangunan Jalan Raya Pos.
Kekuasaan Deandels berakhir saat ia dipanggil ke Belanda. Ada dua versi tehadap pemanggilan ini
a.    Tenaganya dibutuhkan untuk memimpin tentara Perancis menyerbu Rusia
b.    Hubungan yang buruk antara Deandels dengan para raja di Jawa yang dikhawatirkan akan merugikan Belanda dalam mnghadapi serangan dari Inggris.
Ia kemudian digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Janssen (20 Februari-18 September 1811), pada pemerintahan Jenssen, Belanda menyerah kepada Inggris dengan ditandatangganinya Perjanjian Tuntang (1811), yang isinya
Ø Pulau Jawa dan Sekitarnya jatuh ke tangan Inggris.
Ø Semua tentara yang tadinya merupakan bagian dari Pemerintahan Deandels menjadi tentara Inggris.
Ø Orang-orang Belanda dipekerjakan untuk Inggris.
2.    Thomas Stamford Raffles (1811-1814) : Letnan Gubernur Inggris
Setelah berhasil menguasai Jawa, Inggris menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur dan diwakili Kongsi dagang Yang bernama EIC (East Indian Company) yang berpusat di Kalkuta, India. Kebijakan-kebijakan Raffles dalam memerintah antara lain:
a.    Menghapus sistem Preangerstelsel, kerja paksa, serta menghentikan perdaangan budak.
b.    Memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan tanaman yang ditanam.
c.    Menghapus pajak hasil bumi (contingenten).
d.   Menerapkan tanah sebagai milik pemerintah dan petani sebagai penggarap.
e.    Pemungutan pakjak sewa tanah dilakukan per kepala yang sebelumnya dilakukan secara kolektif saat pemerintahan VOC.
f.    Bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah dan jabatan yang diwariskan secara turun temurun.
g.    Membagi pulau jawa menjadi 16 Karasidenan sampai tahun 1964.
h.    Membentuk sistem pemerintahan dan sistem peradilan yang mengacu pada sistem yang dilakukan di Inggris.
Namun kebijakan yang diterapkan terbentur karena beberapa faktor:
ü Terbentur sistem sistem budaya dan tradisi jawa.
ü Belum adanya kepastian hukum atas tanah.
ü Rakyat belum terbiasa menggunakan mata uang sebagai alat pembayaran pajak.
ü Singkatnya kekuasaan Raffles.
Masa kekuasaan Raffles relatif singkat karena kekalahan Perancis dalam pertempuran Leipzig 1813 melawan Rusia, Prusia, Austria dan swedia yang mengakibatkan Belanda merdeka dan berhak kembali terkait daerah jajahan kekuasaannya terdahulu yang tertuang dalam Konvensi London.
Masa Kekuasaan Belanda Ke dua (1816-1942).
          Dengan adanya Konvensi London maka Belanda berhak atas wilaayah kekuasaanya terdahulu. Krisis keuangan yang diakibatkan perang terhadap Perancis serta untuk membayar hutang dari VOC menyebabkan kas negara Belanda mengalami kekosongan. Oleh karena itu dikirimlah Van Der Capellen (1816-1826) sebagai Gubernur Jenderal di Nusantara untuk mengeksploitasi kekayaan alam nusantara guna mengisi kekosongan kas negara. Setelah Van der Capleen dilanjutkan oleh de Gisignies (1826-1830). Keduanya memimpin secara tidak adil dan sewenang-wenang. Akhirnya muncul perlawanan seperti:
a.    Perang Saparua (1817).
b.    Perlawanan Sultan Palembang (1818-1825).
c.    Perang Diponegoro (1825-1830).
d.   Perang padri (1815-1838).
e.    Perang Bone (1824)
Namun perlawanan tersebut dapat diredam oleh panglima militernya yaitu Hendrik Merkus de Knok (1826-1830). Sementara di eropa, Belanda harus mengeluarkan biaya yang besar untuk menghadapi pemberontakan dari Belgia yang akhirnya lepas dari Belanda pada tahun 1830. Dengan perlawanan-perlawanan tersebut kas negara diambang kebangkrutan.
          Untuk mengatasi masalah tersebut Belanda mengirimkan Gubernur Jenderal yang baru yaitu Johannes van Den Bosch. Tugas utamanya menggali dana maksimal untuk menyelamatkan negara dari kebaangkrutan. Kebijakan pertamanya memusatkan peingkatan produksi tanaman ekspor. Di sinilah dia menerapka sitem tanam paksa.
v Kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel): Van Den Bosch (1830-1870)
1.    Mewajibkan setiap desa menyisihkan 1/5 tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor.
2.    Rakyat yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja selam 66 hari di tanah produksi milik Belanda.
3.    Waktu penanaman padi tidak boleh melebihi waktu 3 bulan.
4.    Kelebihan hasil produksi dikembalikan kepada rakyat.
5.    Kerusakan akibat gagal panen diserahkan kepada rakyat.
6.    Pengawasan dan penggarapan lahan dilakukan dan disampaikan melalui kepala desa.
Namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan. Rakyat dipaksa bekerja melakukan 4 sampai 5 kali lebih banyak bekerja. Bagi belanda sistem ini sangat menguntungkan. Kas negara mengalami surplus. Namun sitem ini mndapat kritikan dari berbagai pihak, salah satunya Eduard douwes Dekker. Sistem tanam paksa kemudian dihapus pada tahun 1870 setelah dikeluarkannya UU Agraria (Agrarische Wet) dan UU Gula (Suiker Wet). Tujuan dikeluarkannya UU agraria adalah:
·      Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa asing.
·      Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Nusantara.
·      Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Sementara UU Gula bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha gula untuk mengambil alih pabrik-pabrik gula milik pemerintah.
v Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900) : Eksploitasi Manusia dan agraria)
1.    Latar belakang
a.    Perubahan politik di Belanda.
Pada tahun 1850 partai liberal memenangkan politik di Belanda yang megakibatkan sitem peerintahan berubah menjadi sistem liberalis. Karena sistem liberalis bergantung pada pemilik modal,  perekonomian digerakkan dengan sistem kapitalisme.
b.    Pengaruh Revolusi Industri.
2.    Penerapan dan dampak politik pintu terbuka
Penerapan politik pintu terbuka berdasarkan UU agraria dan UU gula pada tahun 1870 membuat banyak pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini didasari dengan munculnya pabrik-pabrik milik swasta yang berkembang di Indonesia seperti Pabrik tembakau di Deli, Besuki dan Kediri, Pabrik tebu di Batavia, semarang dan berbagai daerah di pulau jawa, pabrik kina di Jawa Barat, pabrik teh di Jawa barat dan Sumatera dan lain sebagainya.
Dampak penerapan pintu terbuka bagi Belanda adalah kemakmuran sedangkan penderitaan bagi rakyat Indonesia.
·      Eksploitasi manusia
Yang dimaksud di sini adalah berupa pengerahan tenaga manusia yang diwarnai tipudaya, paksaan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dialami rakyat Indonesia di perkebunan. Di sini muncul sebutan Koeli (Buruh) dan Ordernemer (pemilik perkebunan). Untuk menjalankan eksploitasi manusia, Belanda membuat peraturan Koeli Ordonantie 1881 yang menjamin agar para pemilik perkebunan dapat memperoleh, mempekerjakan dan mempertahankan kuli di perkebunan mereka sesuai kebutuhan. Mereka diwajibkan bekerja dari pagi sampai sore dengan membuka lahan, dan upah serta makanan dan juga tempat tinggal jauh dari kata layak. Selain bekerja di perkebuan di Indonesia, rakyat Indonesia yang berasal dari jawa juga di kirim ke Suriname, dan Guyana Belanda untuk bekerja di perkebuna Belanda di sana. Para pekerja yang tidak kuat dan membangkang kemudian melarikan diri, namun dengan adanya Poenal Sanctie, para pekerja yang melarikan diri dikenakan hukuman berupa denda, disekap, ditelanjangi, kerja paksa tanpa upah bahkan ada yang dibunuh.
·      Eksploitasi Agraria
Eksploitasi ini tampak dalam bentuk peenggunaan lahan-lahan produktif yang sedang dikerjakan rakyat maupun pembukaan lahan kosong yang dibuka sebagai perkebunan maupun pertambangan. Ada tiga macam tanah di sini:
1.      Tanah yang dikuasai langsung disebut bumi narawita.
2.      Tanah hadiah.
3.      Tanah mancanegara yang dikuasai bupati.
Reaksi Terhadap Kebijakan Pintu Terbuka
Berdasarkan kebijakan tanam paksa dan pintu terbuka muncul beberapa kritikan dari berbagai pihak. Para kaum humanis secara lantang menentang praktik eksploitasi. Penderitaan rakyat Indonesia memicu Broosshoft dan Theodore van Deventer mengkritik kebijakan tersebut yang intinya menuntut pemerintah kolonial agar memperhatikan dan mensejahterakan masyarakat pribumi.  Kritik van Deventer mempengaruhi politik balas budi atau yang dikenal dengan Politik Etis.
Politik Etis
Dalam pidatonya Ratu Wihelmina pada tanggal 17 September 1901 menyatakan Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi yang kemudian menjadi mometum kelahiran Politik Etis yang kemudian menuangkannya dalam TRIAS VAN DEVENTER yang meliputi:
a.       Irigasi, yaitu membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
b.      Edukasi, yaitu menyelenggarakan pendidikan.
c.       Migrasi, yaitu menyeimbangkan kepadatan jumlah penduduk.
Dalam bidang politik, para penggagas Politik Etis mendesak diberlakukannya kebijakan desentralisasi dari Den Haag-Batavia-ke daerah-daerah dengan maksud memberikan ruang, peran serta kesempatan bai orang-orang Indonesia untuk memikirkan nasib dan masa depannya sendiri dengan melibatkan mereka dalam dewan-delwan lokal seperti peningkatan peran pribumi melalui pembentukan Volkstraad/dewan rakyat (1916-1941).
Namun pelaksanaak politik etis terdapat banyak penyimpangan seperti:
·         Irigasi : hanya mengaliri ke tanah perkebunan milik swasta bukan ke tanah-tanah milik rakyat.
·         Edukasi: rakyat hanya belajar sampai kelas 2 sekolah dasar dan bertujuan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang murah. Oleh karena itu pendidikan mendorong munculnya sekolah nonpemerintah seperti Taman Siswa (Ki Hajar Dewantoro), Muhamadiyah (Ahmad Dahlan) serta pendidikan untuk kaum perempuan oleh R.A Kartini.
·         Migrasi: perpindahan penduduk ternyata ditujukan kepada rakyat untuk menjadi tenaga penggarap perkebunan milik swasta dan pengusaha Belanda.
Pada akhirnya politik etis memunculkan kaum-kaum terpelajar dari kaum bangsawan yang mempunyai nasionalis yang pada akhirnya menjadi pelopor pergerakan nasional seperti Dr. Soetomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo yang kemudian membentuk Oerganisasi pergerakan nasional yaitu Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, tanggal itulah sampai sekarang diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.

4 komentar:

  1. Panjang amat bro...susah rangkumnya

    BalasHapus
  2. Sama kyk penguasa jaman sekarang, bgmn mungkin mereka bisa menysejahterakan rakyat, lha wong mikirkan hidup mereka sendiri aja mumet, ngadepin intrik politik, utang, bahkan perang. Lalu kita sbg rakyat pasrahkan nasip kita pada perusahaan, pada negara, alangkah gobloknya...

    BalasHapus