Sabtu, 31 Agustus 2013

Bumi Flores

PERTUALANGAN BERSAMA ANAK PANTAI

Utaseko, sebuah dusun di Kecamatan Golewa Selatan pesisir pantai bagian selatan ini merupakan daerah yang damai.  Kawasan yang masih asri membuat mata takjub akan keindahannya. Sebelum masuk dusun kita sudah disuguhi akan panorama pematang sawah dan kita bisa langsung melihat birunya air laut. Masyarakat yang ramah kemudian perlahan menyambut kedatangan kami. “Selamat datang pak”, sapa ibu paruh baya yang menerima kami. Beliau bukan sebagai kepala sekolah di SMP yang ditunjuk sebagai tempat penugasan kami, melainkan seorang pensiunan guru SD yang lokasinya dekat dengan sekolah tempat saya tugas di sini. “Mae Naji lew –red (jangan marah), rumah kami tidak sebagus rumah bapak di Jawa”, lanjut ibu paruh baya tersebut. Sebelum mendapat rumah kontrakan untuk saya tinggal di sini selama satu tahun, saya dipersilahkan untuk menginap dulu di rumahnya. kami berbincang-bincang akan segala hal tentang kehidupan. Saya tidak menyangka ibu parah baya tersebut hapal akan daerah di Jawa. Lambat laun berbincang-bincang terbesik sebuah pembenaran kalau beliau sudah sering pesiar (melakukan perjalanan) ke Jawa dan salah satu anaknya ada yang menikah dengan orang Semarang dan anak satunya ada yang bekerja di Bali.
Waktu sudah menunjukkan jam 7 malam, cahaya di rumah ini hanya dari saluran ganset milik pribadi dan apabila bensin sudah mulai habis maka sudah tidak ada lagi penerangan. Tapi mereka masih bersukur, itu yang saya kagum akan keterbatasan pelayanan umum yang mereka miliki cuma air bersih yang mereka dapat atas pelayanan umum. Jam sudah menunjukkan jam 9 dikarenakan capek saya pun kemudian memutuskan untuk beristirahat karena besok harus berangkat ke sekolah.
Pagi hari sudah menyongsong dan memanggilku untuk segera bangun dan bersiap berangkat sekolah. Tidak saya sangka sudah ada secangkir kopi dan sepiring ubi goreng, entah bingung atau bersyukur akhirnya sang empunya rumah mempersilahkan saya untuk menikmati hidangan yang sudah disiapkan. May kha bapak red. (mari makan bapak) sahut ibu paruh baya tersebut mempersilahkan saya untuk makan. Sesudahnya saya selesai makan maka saya bergegas untuk berangkat ke sekolah.
SMP Negeri 6 Golewa, akhirnya saya menginjakkan kaki saya pertama kali di sini. Suasana ramah kembali saya dapatkan di sini. Sapaan pertama kali saya dapat di sini adalah selamat datang pak Aji, bagaimana perjalanannya, kami sangat bersyukur kedatangan guru bantu dari pusat untuk membantu kami melakukan proses pembelajaran di sini, sambut Ibu Kristina Ninu selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 6 Golewa. Selanjutnya saya diajak perkenalan dengan guru-guru yang lain. Setelah perkenalan dengan guru-guru maka saya diajak untuk berkenalan dengan murid-murid. Betapa terkejutnya saya melihat semangat mereka untuk belajar. Selain terkejut, saya juga sempat terenyuh akan mereka. Sekali lagi keterbatasan yang menyelimuti mereka. Ada yang ke sekolah harus menempuh jarak yang relatif jauh, ada yang mengemas buku-buku mereka dengan kantong plastik dan ada juga yang memakai sepatu robek untuk berangkat ke sekolah. Tapi semua itu tidak menghambat mereka untuk memperoleh sepercik ilmu di sekolah untuk kehidupan mereka selanjutnya. 
Satu hari berada di sekolah banyak hal yang saya dapat salah satunya adalah panggilan dari murid-murid kepada saya yaitu Om Guru. Seorang siswa yang saya hafal pertama adalah Berry. Dia adalah ketua OSIS di SMP Negeri 6 Golewa. Berry juga merupakan anak asuh dari Ibu Kepala Sekolah.
SMP Negeri 6 pada waktu kedatangan saya masih dalam proses pembangunan. Banyak tukang-tukang yang bekerja untuk membangun ruang-ruang baru yang dipergunakan utuk ruang kelas. Tukan-tukang yang bekerja tersebut tinggal di sekolah yang menyebabkan saya juga akrab dengan mereka karena saya tinggal satu kamar dengan kepala tukang tersebut. Hamper setiap hari setelah melaksanakan tugas pembelajaran di sekolah dengan kepenatan tanggung jawab, saya selalu dihibur dengan canda tawa murid2 yang hamper setiap sore bekerja untuk memikul tanah untuk menimbun kekurangan tanah di pembangunan sekolah. Akhirnya sepercik penerangan muncul dari PLTA yang di bangun oleh warga sekitar dan bantuan dari pemerintah. Warga Utaseko bersyukur telah menikmati listrik yang hanya hidup pada sore hari dan mati saat pagi menjelang.
Akhirnya pembangunan ruang baru akan selesai. Semua kalangan di lingkup sekolah lega akan hal tersebut. Tapi semua itu sirna akan ditutupnya sumber air yang pada mulanya disalurkan kepada masyarakat. Ditutupnya sumber air tersebut dikarenakan kalahnya seseorang calon Kepala Desa yang mencalonkan diri dalam PILKADES Were III yang notabene adalah anak dari seorang yang paling berpengaruh di dusun Utaseko. Ditutupnya sumber air juga berdampak dengan kelangsungan pembangunan tersendat yang pada mulanya hanya kurang finishing saja. Para murid dan guru mengalami kesulitan menggunakan air untuk dipergunakan di kamar mandi dan beberapa kegiatan. Para murid kemudian membawa jerigen ke sekolah demi memenuhi kebutuhan di sekolah. Pada sebuah iklan yang menerangkan Sumber Air Su Dekat dan Sekarang Katong Su Tidak Terlambat Pi Sekolah itu diganti dengan Sumber Air SU Jauh dan Sekarang Katong Terlambat Pi Sekolah. Ini yang membuat pikiran saya menjadi berat juga kasihan serta menghela nafas dalam dalam. Malam setelah ditutupnya sumber air tersebut saya melamun dengan berfikir apakah Pasal 33 ayat 1 sudah tidak berlaku di sini dan semboyan bahwa “Sumber Air Su Dekat” sudah tidak ada lagi. Namun itu tidak menyulutkan masyarakat untuk menikmati air, karena masih ada air sungai yang bisa dimanfaatkan.
Masyarakat sekarang menggunakan Air Sungai untuk mandi dan mencuci baju serta mencuci peralatan dapur. Masyarakat Utaseko tidak selamanya terhayut dalam kesedihan. Banyak pesta-pesta yang dapat menhibur mereka. Pesta-pesta yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah Rebha (Pesta Adat), Nikah, Sambut baru, Pondasi, Paku seng dan lain lain. Pada saat pesta tersebut biasanya masyarakat berkumpul, makan bersama, Ja’I (Tarian adat) dan yang tidak pernah lupa adalah tersedianya MOKE (minuman Khas Kab. Ngada). Masyarakat pada hal ini biasaya tumpah ruah di tempat pesta karena cuma ini hiburan yang bisa mereka miliki.
Hari demi hari, bulan demi bulan sudah saya lalui di sini. Banyak hal yang saya dapatkan di sini. Ramah tamah, persaudaraan, budaya, seni, peninggalan sejarah serta orang-orang yang selalu ada di sekeliling saya sulit akan ditinggalkan, namun semua harus rela saya tinggalkan karena sebuah tugas yang mana saya harus meninggalkan mereka. Hampir waktunya saya berkemas untuk meninggalkan mereka. Selamat tinggal Flores, selamat tinggal Bajawa dan selamat tinggal Utaseko.