PERTUALANGAN BERSAMA ANAK PANTAI
Utaseko, sebuah dusun di Kecamatan
Golewa Selatan pesisir pantai bagian selatan ini merupakan daerah yang
damai. Kawasan yang masih asri membuat
mata takjub akan keindahannya. Sebelum masuk dusun kita sudah disuguhi akan
panorama pematang sawah dan kita bisa langsung melihat birunya air laut.
Masyarakat yang ramah kemudian perlahan menyambut kedatangan kami. “Selamat
datang pak”, sapa ibu paruh baya yang menerima kami. Beliau bukan sebagai
kepala sekolah di SMP yang ditunjuk sebagai tempat penugasan kami, melainkan
seorang pensiunan guru SD yang lokasinya dekat dengan sekolah tempat saya tugas
di sini. “Mae Naji lew –red (jangan marah), rumah kami tidak sebagus rumah
bapak di Jawa”, lanjut ibu paruh baya tersebut. Sebelum mendapat rumah
kontrakan untuk saya tinggal di sini selama satu tahun, saya dipersilahkan
untuk menginap dulu di rumahnya. kami berbincang-bincang akan segala hal
tentang kehidupan. Saya tidak menyangka ibu parah baya tersebut hapal akan
daerah di Jawa. Lambat laun berbincang-bincang terbesik sebuah pembenaran kalau
beliau sudah sering pesiar (melakukan perjalanan) ke Jawa dan salah satu
anaknya ada yang menikah dengan orang Semarang dan anak satunya ada yang
bekerja di Bali.
Waktu sudah menunjukkan jam 7 malam,
cahaya di rumah ini hanya dari saluran ganset milik pribadi dan apabila bensin
sudah mulai habis maka sudah tidak ada lagi penerangan. Tapi mereka masih
bersukur, itu yang saya kagum akan keterbatasan pelayanan umum yang mereka
miliki cuma air bersih yang mereka dapat atas pelayanan umum. Jam sudah
menunjukkan jam 9 dikarenakan capek saya pun kemudian memutuskan untuk
beristirahat karena besok harus berangkat ke sekolah.
Pagi hari sudah menyongsong dan
memanggilku untuk segera bangun dan bersiap berangkat sekolah. Tidak saya
sangka sudah ada secangkir kopi dan sepiring ubi goreng, entah bingung atau
bersyukur akhirnya sang empunya rumah mempersilahkan saya untuk menikmati
hidangan yang sudah disiapkan. May kha bapak red. (mari makan bapak) sahut ibu
paruh baya tersebut mempersilahkan saya untuk makan. Sesudahnya saya selesai
makan maka saya bergegas untuk berangkat ke sekolah.
SMP Negeri 6 Golewa, akhirnya saya
menginjakkan kaki saya pertama kali di sini. Suasana ramah kembali saya
dapatkan di sini. Sapaan pertama kali saya dapat di sini adalah selamat datang
pak Aji, bagaimana perjalanannya, kami sangat bersyukur kedatangan guru bantu
dari pusat untuk membantu kami melakukan proses pembelajaran di sini, sambut
Ibu Kristina Ninu selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 6 Golewa. Selanjutnya saya
diajak perkenalan dengan guru-guru yang lain. Setelah perkenalan dengan
guru-guru maka saya diajak untuk berkenalan dengan murid-murid. Betapa
terkejutnya saya melihat semangat mereka untuk belajar. Selain terkejut, saya
juga sempat terenyuh akan mereka. Sekali lagi keterbatasan yang menyelimuti
mereka. Ada yang ke sekolah harus menempuh jarak yang relatif jauh, ada yang
mengemas buku-buku mereka dengan kantong plastik dan ada juga yang memakai
sepatu robek untuk berangkat ke sekolah. Tapi semua itu tidak menghambat mereka
untuk memperoleh sepercik ilmu di sekolah untuk kehidupan mereka
selanjutnya.
Satu hari berada di sekolah banyak hal
yang saya dapat salah satunya adalah panggilan dari murid-murid kepada saya
yaitu Om Guru. Seorang siswa yang saya hafal pertama adalah Berry. Dia adalah
ketua OSIS di SMP Negeri 6 Golewa. Berry juga merupakan anak asuh dari Ibu
Kepala Sekolah.
SMP Negeri 6 pada waktu kedatangan saya
masih dalam proses pembangunan. Banyak tukang-tukang yang bekerja untuk
membangun ruang-ruang baru yang dipergunakan utuk ruang kelas. Tukan-tukang
yang bekerja tersebut tinggal di sekolah yang menyebabkan saya juga akrab
dengan mereka karena saya tinggal satu kamar dengan kepala tukang tersebut. Hamper
setiap hari setelah melaksanakan tugas pembelajaran di sekolah dengan kepenatan
tanggung jawab, saya selalu dihibur dengan canda tawa murid2 yang hamper setiap
sore bekerja untuk memikul tanah untuk menimbun kekurangan tanah di pembangunan
sekolah. Akhirnya sepercik penerangan muncul dari PLTA yang di bangun oleh warga
sekitar dan bantuan dari pemerintah. Warga Utaseko bersyukur telah menikmati
listrik yang hanya hidup pada sore hari dan mati saat pagi menjelang.
Akhirnya pembangunan ruang baru akan
selesai. Semua kalangan di lingkup sekolah lega akan hal tersebut. Tapi semua
itu sirna akan ditutupnya sumber air yang pada mulanya disalurkan kepada
masyarakat. Ditutupnya sumber air tersebut dikarenakan kalahnya seseorang calon
Kepala Desa yang mencalonkan diri dalam PILKADES Were III yang notabene adalah
anak dari seorang yang paling berpengaruh di dusun Utaseko. Ditutupnya sumber
air juga berdampak dengan kelangsungan pembangunan tersendat yang pada mulanya
hanya kurang finishing saja. Para murid dan guru mengalami kesulitan
menggunakan air untuk dipergunakan di kamar mandi dan beberapa kegiatan. Para
murid kemudian membawa jerigen ke sekolah demi memenuhi kebutuhan di sekolah. Pada
sebuah iklan yang menerangkan Sumber Air Su Dekat dan Sekarang Katong Su Tidak
Terlambat Pi Sekolah itu diganti dengan Sumber Air SU Jauh dan Sekarang Katong
Terlambat Pi Sekolah. Ini yang membuat pikiran saya menjadi berat juga kasihan
serta menghela nafas dalam dalam. Malam setelah ditutupnya sumber air tersebut
saya melamun dengan berfikir apakah Pasal 33 ayat 1 sudah tidak berlaku di sini
dan semboyan bahwa “Sumber Air Su Dekat” sudah tidak ada lagi. Namun itu tidak
menyulutkan masyarakat untuk menikmati air, karena masih ada air sungai yang
bisa dimanfaatkan.
Masyarakat sekarang menggunakan Air
Sungai untuk mandi dan mencuci baju serta mencuci peralatan dapur. Masyarakat
Utaseko tidak selamanya terhayut dalam kesedihan. Banyak pesta-pesta yang dapat
menhibur mereka. Pesta-pesta yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah Rebha
(Pesta Adat), Nikah, Sambut baru, Pondasi, Paku seng dan lain lain. Pada saat
pesta tersebut biasanya masyarakat berkumpul, makan bersama, Ja’I (Tarian adat)
dan yang tidak pernah lupa adalah tersedianya MOKE (minuman Khas Kab. Ngada).
Masyarakat pada hal ini biasaya tumpah ruah di tempat pesta karena cuma ini
hiburan yang bisa mereka miliki.
Hari demi hari, bulan demi bulan sudah
saya lalui di sini. Banyak hal yang saya dapatkan di sini. Ramah tamah,
persaudaraan, budaya, seni, peninggalan sejarah serta orang-orang yang selalu
ada di sekeliling saya sulit akan ditinggalkan, namun semua harus rela saya
tinggalkan karena sebuah tugas yang mana saya harus meninggalkan mereka. Hampir
waktunya saya berkemas untuk meninggalkan mereka. Selamat tinggal Flores,
selamat tinggal Bajawa dan selamat tinggal Utaseko.